Dua tahun lalu, saya berjalan-jalan bersama teman saya Bruno di sebuah bukit di Portugal selatan. Festival ide tahunan perusahaan saya digelar beberapa hari lagi, dan kami membahas kabar kemajuan geladinya. Seperti biasa, Bruno punya banyak ide. Ia ingin dua penyaji bertukar tempat untuk menciptakan kesan momentum narasi yang lebih kuat, ia menyarankan agar pembicara lain menemukan cara yang lebih menarik dalam menyampaikan pesannya, dan ia merekomendasikan dua pembicara lain untuk melakukan latihan pernapasan dasar. Esok paginya, saya melihat ia berada di panggung dan melatih beberapa penyaji secara pribadi. Dia tahu cara mendekati setiap orang, memberi kritik yang membangun pada pembicara senior, dan dukungan yang menenangkan pada pemula yang demam panggung. Melihat aksi Bruno seperti melihat seorang penjinak kuda yang berhasil menaklukkan tunggangan barunya dengan mudah.
When Our Hearts Beat Together
A Pullman Draft is an idea. A provocation. A spark for conversation and an invitation to think differently. Welcome to Pullman Drafts, a series of personal reflections with the House of Beautiful Business, featuring bold voices from business, culture, media, and technology.
28 Agustus 2025
less than a minute
Malah, bisa dibilang Bruno Giussani adalah “pawang acara” terbaik sedunia. Selama dua puluh tahun terakhir, ia menjadi sosok penting di balik kesuksesan konferensi TED dan TED Talks yang terkenal. Sebagai Kurator Global organisasi, sekaligus salah satu pendiri dan kurator Countdown, inisiatif TED untuk perubahan iklim, ia telah merancang acara yang menghadirkan tokoh-tokoh terkemuka dunia, mulai dari Paus Fransiskus dan Pangeran William, hingga Chimamanda Ngozi Adichie, dan Jennifer Doudna. Di era saat semakin banyak hal terjadi secara virtual di layar, Bruno merupakan pendukung besar acara tatap muka. “Orang menjadi berbeda saat dikumpulkan bersama di satu ruangan. Kita menjadi jauh lebih terbuka dan lebih mudah didekati,” ucapnya kepada saya. "Apabila ada upaya yang dikerahkan, saat kita menginterupsi rutinitas harian, kita akan hadir dengan cara yang berbeda."
Saya tertawa kecil saat ia mengatakan hal ini. Saya belum bercerita kepadanya bahwa seluruh pertemanan kami bisa terjalin berkat jenis gangguan seperti yang ia jelaskan.
Kehadiran adalah fenomena fisik
Pada tahun 2008, saya menjabat sebagai kepala pemasaran di organisasi konsultasi inovasi yang berbasis di San Fransisco, Frog Design. Saat itu, seorang kenalan menghubungkan saya dengan Bruno. Saya tentu sudah pernah mendengar tentang TED, dan saya langsung merasa tertarik. Setelah beberapa kali bertukar email, Bruno bertanya apakah saya berencana mampir ke London dalam waktu dekat, dan ia mengundang saya untuk mengunjungi sebuah resepsi di Tate Modern seandainya jadwal saya memungkinkan. Waktu itu saya tidak berencana pergi ke London dalam waktu dekat, tetapi saya memesan penerbangan dan hotel petang itu. Di malam pesta, saya berjalan enteng ke Turbine Hall galeri seakan-akan saya hanya sekadar berjalan di sekitar blok.
Saya senang saya bertindak secara spontan dan mengerahkan upaya ekstra ini. Saya tidak hanya menikmati petang bertabur bintang, tetapi Bruno dan saya juga menjalin hubungan yang tidak akan pernah bisa diwujudkan melalui Zoom. Secara penampilan ia mencolok—tinggi, berpundak lebar, sedikit necis—tetapi ada nuansa lembut dan ceria yang baru bisa benar-benar terasa jika Anda berinteraksi dengannya dari dekat. Di pertemuan petang itu, saya langsung merasakan kecocokan secara intelektual, menegaskan kembali satu hal yang sudah saya pahami: Kehadiran adalah fenomena fisik. Agar dapat benar-benar terbuka dan awas, pikiran dan tubuh Anda harus menempati ruang yang sama. Hadir berarti ada di momen saat ini, atau seperti kata orang-orang, “menikmati momen”. Anda tidak dapat sepenuhnya menikmati presentasi penting melalui streaming langsung jika pada saat yang bersamaan, Anda berada di dapur, menyiapkan makan malam, mengurus anak-anak (bahkan sambil mengecek email di jendela yang lain).
“Masalahnya adalah kemudahan,” ucap Bruno seputar acara virtual. “Kehebatan tidak muncul dari kemudahan; kehebatan lahir dari friksi. Acara langsung mengharuskan Anda pergi ke sana; bagi beberapa orang ini berarti bepergian dalam jarak jauh dan, mungkin, menabung untuk perjalanan ini. Selain itu ada gesekan dan ketidaknyamanan dalam bentuk duduk di ruangan bersama orang asing, mungkin di tempat yang tidak Anda kenal, dengan bahasa lokal yang tidak Anda kuasai. Semua faktor besar ini menempatkan Anda dalam posisi keterbukaan dan penerimaan.”
Ada juga semacam "kehadiran palsu" yang terjadi ketika audiens secara fisik berada di ruangan, namun tidak terlalu terlibat. Psikologi di balik hal ini lumayan sederhana; saat kita disajikan format yang sudah sering digunakan atau tidak orisinal yang tidak memikat kita secara emosional, atau tidak memberikan banyak peluang untuk berpartisipasi, kita cenderung tidak banyak memberikan respons. Apabila acara terlalu konvensional, atau konten tidak segar atau menarik, para peserta sering kali kehilangan perhatian. Untuk mewujudkan kehadiran yang autentik, kita harus benar-benar berada bersama audiens, dengan menghadirkan aktivasi yang membuat mereka—dan apa yang mereka bawa—menjadi bagian integral dari pengalaman tersebut. Jangan sampai Anda membuat audiens merasa seakan-akan mereka tidak dibutuhkan atau tidak penting.
Selain itu, kehadiran memungkinkan timbulnya hal lain: Keberuntungan. Saat bertemu langsung, Anda memberikan kesempatan pada hal-hal tak terduga. “Anda kebetulan bertemu dengan seseorang di koridor di sela-sela sesi dan duduk untuk minum kopi. Tiga jam kemudian Anda masih berbincang-bincang,” ucap Bruno. “Atau Anda merasa tercerahkan berkat suatu presentasi kemudian ingin bertemu dengan pembicara untuk mengajukan beberapa pertanyaan—hal ini tidak bisa terjadi melalui Zoom. “Baik itu obrolan spontan di halaman atau kolaborasi tak terduga di ruang kreatif, momen-momen ini sengaja “didesain” agar terjadi dalam pertemuan tatap muka. Acara bukan sekadar pertunjukan, melainkan juga kesempatan untuk menemukan hal baru dan menjalin hubungan di momen-momen singkat antara sesi dan di balik layar. “Kita menjadi diri kita yang seutuhnya saat bertemu langsung, karena di sana tidak ada layar yang membatasi kehadiran dan interaksi kita,” ujar Bruno. "Pelajaran yang Anda dapat akan lebih berkesan. Maksud saya, mulai dari koneksi yang terjalin, pengetahuan dan pengalaman yang didapat, hingga energi yang Anda rasakan," ujarnya.
Perjalanan tak terduga dengan orang asing
Saya tidak menghadiri festival musik Glastonbury yang ikonis musim panas kemarin, tetapi Bruno dan saya dilanda FOMO kronis saat kami membaca tentang apa yang terjadi di sana. Seniman pertunjukan asal Serbia Marina Abramović tampil di panggung utama dan meminta ribuan orang audiens untuk berdiam selama tujuh menit. Mereka menurut. Selama tujuh menit. “Bayangkan punya kemampuan untuk melakukan hal itu,” renung Bruno sambil geleng-geleng kepala tidak percaya. Apabila Anda melihat foto momen yang disebut Abramović sebagai “campur tangan publik” untuk merefleksikan tentang konflik dan perdamaian, akan terlihat gambar luar biasa orang-orang yang berdiri bersampingan dalam kelompok besar dan kecil, berdiri dan duduk, dengan mata tertutup. Mereka berasal dari usia, ras, dan gender yang berbeda-beda. Beberapa darinya mengenakan pakaian berkemah kotor, sedangkan yang lain mengenakan mode high-street terbaru. Mereka semua sangat berbeda, tetapi juga merupakan bagian dari satu kesatuan besar dan dinamis dalam pengalaman yang kuat—nyaris magis.
Dua puluh tahun lalu, saya juga merasakan momen kebersamaan yang luar biasa saat menonton pertunjukan Broadway. Ini adalah pertama kalinya saya menonton Long Day’s Journey into Night, mahakarya melankolis dari Eugene O’Neill tentang sebuah keluarga yang dilanda krisis. Bisa dibilang, saya tidak menduga akan merasakan intensitas mendalam seperti saat itu. Dengan fokus penuh tertuju pada pertunjukan, saya terbawa oleh karakter yang ada serta kedalaman dan rasa sakit penderitaan mereka yang luar biasa. Namun di balik arus rasa empati ini, saya merasakan perasaan lain: perasaan dahsyat bahwa saya hidup dan sadar di antara orang lain. Kesadaran yang kuat bahwa saya hidup saat ini, bukan momen lain dalam sejarah, dan bahwa merupakan suatu kebetulan yang luar biasa saya bergabung dengan orang-orang di sekitar saya, yang memilih untuk datang bersama sama petang hari itu dalam sebuah perjalanan emosional yang tak terduga. Ketika lampu dinyalakan saat jeda, wanita yang duduk di sebelah saya menoleh ke arah saya dan berkata, “Wow”. Saya mengangguk. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Ada bukti kuat di balik apa yang saya rasakan di teater waktu itu. Penelitian menunjukkan bahwa pertunjukan langsung dapat menyinkronkan denyut para audiens, sehingga ratusan jantung benar-benar berdetak bersamaan. Studi lain menunjukkan bahwa audiens cenderung bernapas secara bersamaan saat hati mereka tergerak oleh apa yang mereka tonton atau dengarkan; mereka bahkan merasakan merinding dan gemetar pada saat yang sama. Kita semua mengerti seperti apa rasanya saat seluruh ruangan tegang ketika menyaksikan momen klimaks yang sama, keseruan mengembuskan napas secara massal dan bersamaan. Ada kesan spiritual dalam kejadian-kejadian ini, seakan-akan setiap jiwa disentuh secara berbeda oleh tangan mahakuasa yang sama.
Menjelajahi alam bersama
Beberapa minggu setelah festival di Portugal, Bruno dan saya berkesempatan untuk berdiskusi tentang festival tersebut. Saran-sarannya sangat bijaksana dan berharga, ia memberikan pujian sekaligus kritik yang konstruktif. Namun yang paling berkesan untuk saya adalah refleksinya berfokus seputar kedekatan festival ini dengan alam—festival ini diselenggarakan sepenuhnya di luar ruangan, di hutan, taman, perkebunan, dan di sekitar kolam—dan dampak yang menurutnya dapat ditimbulkan hal ini terhadap perasaan kebersamaan secara keseluruhan. “Menurut saya berada di alam, beralih dari percakapan ke diskusi dalam kelompok kecil, dengan lautan di kejauhan, sinar matahari, cuitan burung—inilah hal terpenting yang membuat kita menjadi suatu komunitas,” ucapnya. “Menemukan kembali dunia alam dan hubungan kita dengannya menjadi semakin penting di era digital ini.”
Semua refleksi Bruno tentang upaya dan waktu telah menjadi bahan pemikiran untuk saya. Sering sekali, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi, saya memilih cara termudah untuk menyelesaikan sesuatu. Entah ini berarti mengirim pesan teks alih-alih telepon, mengirim email alih-alih kopi darat dengan teman, atau membeli barang sehari-hari di supermarket terdekat alih-alih meluangkan waktu untuk menghadiri pasar petani mingguan nan menawan yang berjarak beberapa blok, taktik hemat waktu saya selalu terlihat seperti tindakan yang rasional dan praktis. Namun seberapa sering saya berhenti dan bertanya kepada diri sendiri untuk apa saya menghemat waktu jika tidak untuk berbincang akrab dengan teman atau berjalan-jalan santai di hari yang indah? Mengapa kita menghemat waktu jika tidak untuk menjalani aktivitas yang memberikan nilai dalam kehidupan kita?
Saya kadang cemas bahwa hidup digital ini telah membuat kita begitu terbiasa dengan kemudahan dan efisiensi, hingga menganggap bahwa sebagian dari “hidup” itu sendiri bisa dijalani dari jauh. Namun ada sisi lain dari hal ini. Mungkin maraknya penggunaan layar, obrolan teks, dan pertemuan Zoom justru membuat acara tatap muka menjadi lebih sakral. Saat seratus orang berkumpul di satu ruangan, masing-masing mengesampingkan seratus kesibukannya sendiri, dan selama jangka waktu pendek memusatkan fokus mereka ke satu hal yang sama, akan terjadi sesuatu yang luar biasa. Kita menempati waktu dan ruang bersama-sama; kita merasakan pengalaman yang berlangsung sekilas, tidak dapat diputar kembali, dan tidak dapat diulangi. Bersama, kita ciptakan sesuatu yang unik, yang tidak akan pernah terulang dengan cara yang sama.
Akhir-akhir ini, saya mencoba menghargai nilai-nilai kehadiran, kebersamaan, dan keunikan ini dalam hidup saya. Kutipan dari sutradara teater asal Inggris Peter Brook, orang yang mendedikasikan hidupnya terhadap kekuatan pengalaman langsung, telah menjadi panduan saya: “Jangan mengabaikan hal-hal kecil. Buktikan sendiri.” Jika sebagai pemimpin bisnis saya mengabaikan hal-hal kecil, saya pasti akan terasing dan kehilangan relevansi. Saya harus merasa terhubung secara aktif dan tulus dengan orang-orang yang bekerja sama dengan saya, komunitas yang mendukung pekerjaan tersebut, dan arus sosial dan budaya lebih besar yang membentuk hal-hal ini. Ini beberapa cara saya “membuktikan sendiri” belakangan ini. Semoga menginspirasi Anda juga.
Tentang Penulis
Bruno Giussani adalah seorang kurator, penulis, dan kritikus budaya. Selama 20 tahun, ia memegang peran sebagai kurator global dan direktur Eropa di TED, yang dikenal lewat TED Talks-nya yang populer. Ia juga menjadi pendiri dan kurator inisiatif iklimnya, Countdown. Dalam masa jabatannya, Bruno telah mengkurasi lebih dari seribu TED Talks, mewawancarai para tokoh terkemuka mengenai isu-isu global, dan mengadakan banyak acara di berbagai negara. Sebelum bergabung dengan TED, Bruno adalah kolumnis internet untuk The New York Times dan kepala strategi daring di World Economic Forum.
Tim Leberecht adalah salah satu pendiri dan salah satu CEO House of Beautiful Business, jaringan untuk ekonomi yang berpusat pada kehidupan. Ia adalah penulis buku The Business Romantic (2015), The End of Winning (2020), dan yang terbaru, Picky: How the Superpower of Curation Can Save the World (2026). Dua TED Talk-nya telah ditonton jutaan kali.